Laman

JANGAN PERNAH BERHENTI BERJUANG

JANGAN PERNAH BERHENTI BERJUANG
FORUM TENAGA HONORER SEKOLAH NEGERI INDONESIA
KABUPATEN CILACAP

Rabu, 03 Februari 2010

RPP Dibahas Panja Gabungan DPR

Kamis, 04 Februari 2010 10:37
104 Ribu Honorer Segera Diangkat


JAKARTA - Nasib 104 ribu tenaga honorer yang tercecer bakal segera berakhir. Panitia Kerja (Panja) gabungan DPR-RI berjanji menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tenaga honorer akhir bulan ini. Penyelesaian aturan tersebut dinilai mendesak lantaran sudah lima tahun ini nasib tenaga honorer terkatung-katung. Dengan segera disahkannya aturan itu, pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bisa segera dilakukan.

Ketua Panja yang membidangi tenaga honorer Kementerian Pendidikan dan Kementrian Pertanian Rully Chairul Azwar mengatakan, jumlah tenaga honorer sejak 2005-2009 mencapai 902.702. Dari jumlah itu yang sudah diangkat sebanyak 889.196 orang. “Sisanya wajib diangkat. Datanya masih diverifikasi,” terangnya, kemarin (3/1) di gedung DPR-RI.

Hanya saja, kata Rully, menurut data Badan Kepegawaian Nasional (BKN), diluar jumlah itu ternyata masih ada tenaga honorer yang tercecer. Jumlahnya cukup besar. Yaitu, mencapai 104 ribu orang. Jumlah itu tidak bisa masuk database BKN lantaran berkasnya belum lengkap dan terlambat terdaftar sebelum Juli 2006.

“Itupun jumlahnya belum fix. Bisa jadi lebih dari itu. Karena jumlah itu baru laporan dari 25 instansi yang ada di pusat dan 33 provinsi,” jelasnya. Karena itu, kata Rully, panja kesulitan memverifikasi berapa jumlah pasti tenaga honorer yang harus dituntaskan dan diangkat jadi CPNS.

Menurutnya, tenaga honorer yang tercecer sejumlah 104 ribu orang itu berasal dari Kemendinas dan Kementrian Pertanian. “Bisa jadi di kementrian lain masih ada,” ujarnya.

Rully menjelaskan, untuk menuntaskan masalah tenaga honorer, DPR-RI membentuk panja gabungan. Terdiri dari panja yang mengatasi persoalan honorer di tubuh Kemendiknas-Kementrian Pertanian dan panja untuk Kementrian Agama, Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN).

Di tubuh Kemendiknas misalnya, persoalan honorer yang harus dirampungkan begitu kompleks. Meliputi, guru tidak tetap (GTT), guru tetap yayasan (GTY), guru bantu, honorer daerah, maupun tenaga kependidikan. Sedangkan di Kementrian Pertanian ada 60 ribu tenaga penyuluh yang harus dituntaskan.

“Tapi, diantara semua itu yang menjadi persoalan besar adalah guru. Karena status mereka sudah bertahun-tahun terkatung-katung,” jelasnya.

Selain itu, kata Rully, kebutuhan guru dinilai cukup urgen. Pasalnya, jumlah guru tak hanya belum cukup, penyebarannya juga belum sesuai dengan kebutuhan. Jumlah guru banyak yang menumpuk di perkotaan. Apalagi, tiap tahun ratusan ribu guru pensiun.

“Sehingga, pengangkatan tenaga honorer harus dipercepat,” ujar Wakil Ketua Komisi X itu.

Pertama, dengan memverifikasi jumlah pasti tenaga honorer. Susahnya, kata dia, tiap Kementrian memiliki jumlah yang berbeda. Termasuk, organisasi profesi. Sementara, untuk melakukan validasi langsung di lapangan membutuhkan waktu yang lama. Kedua, panja segera menyiapkan RPP untuk pengangkatan sisa tenaga honorer sejak 2005-2009.

Rully menambahkan, bagi tenaga honorer yang sudah memenuhi persyaratan segera diangkat. Sementara bagi yang persyaratannya belum memenuhi, pemerintah akan berupaya menaikan kesejahteraan mereka.

“Karena untuk guru misalnya, ada kualifikasi khusus. Minimal D4 atau S1. Ini menjadi syarat mutlak karena kompetensi tenaga pendidik amat penting,” papar anggota DPR dari fraksi Golkar itu.

Panja gabungan berjanji bakal segera memberi rekomendasi terkait berbagai persoalan tersebut. Dengan demikian, akhir bulan ini RPP tersebut diharapkan bisa disahkan.

Disarankan Distop

Pakar otonomi daerah (otda) dari Universitas Hasanudin, Hamid Puddu, saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Anggaran DPR, kemarin (3/2), mengatakan, seharusnya proses penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) harusnya dihentikan, bukan justru ditambah.

Alasannya, karena anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk mengurangi angka kemiskinan, justru banyak terserap untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Semakin banyak jumlah PNS, maka akan semakin besar uang negara yang dikeluarkan. Untuk di tingkat daerah, uang APBD akan banyak tersedot untuk belanja pegawai jika jumlah PNS-nya membludak.

Idealnya, kata Hamid, untuk menurunkan angka kemiskinan, anggaran belanja PNS hanya menyerap 30 persen saja dari APBD. Sedangkan 70 persen lainnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang, seperti infrastruktur, ekonomi dan lain sebagainya.

Namun yang terjadi, kata Hamid, justru sebaliknya. Hampir di seluruh daerah di Indonesia, 70 persen anggaran justru terserap hanya untuk belanja pegawai saja. Sedangkan anggaran untuk program-program pengentasan kemiskinan tidak mengalami kenaikan secara signifikan.

"Padahal substansi dari APBD adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Makanya sudah saatnya pemerintah tidak lagi menaikkan gaji PNS. Bahkan kalau perlu, menghentikan penerimaan PNS di daerah. Sudah ada daerah yang mencobanya, dan ternyata berhasil menaikkan kesejahteraan rakyat, seperti di Jembrana, Bali," jelas Hamid pula.

Dikatakan, ada kecenderungan daerah-daerah mengajukan jumlah CPNS besar agar bisa meningkatkan DAU-nya. "Pemda selama ini salah soal DAU. DAU itu bukan hanya untuk membayar gaji pegawai. Gaji pegawai harusnya didasarkan dengan kemampuan daerah membayar," kritiknya. Lebih lanjut dia menyarankan agar pemerintah mengalihkan dana dekonsentrasi (Dekon) ke Dana Alokasi Khusus (DAK), serta bukan ke Dana Alokasi Umum (DAU). Ini perlu dilakukan agar pemerintah bisa mengontrol penggunaan dana-dana tersebut.

"Pengalihan dana dekonsentrasi memang sesuai amanat undang-undang. Tapi sebaiknya ke DAK saja, agar jelas penggunaannya," kata Hamid . Dijelaskan Hamid, jika dana Dekon dialihkan ke DAU atau pos lainnya, akan sulit bagi pemerintah melakukan kontrol anggaran.

Selain itu, pengalihan dana Dekon ke DAK juga bertujuan agar terjadi harmonisasi, karena ada kepentingan nasional yang harus dilaksanakan. "DAK jelas pemanfaatannya. Kalau DAU tidak jelas. Sebab 80-90 persen terpenjara untuk belanja tidak langsung dan aparatur," cetus Hamid.

Senada dengan itu, Agung Pambudi dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyatakan, pengelolaan keuangan pemda selama ini kurang baik, antara lain bila dilihat dari opini disclaimer BPK. Daerah juga disebut tidak paham dalam penerapan anggaran. "Daerah minta DAU lebih, karena bisa menggunakan keuangan sebebasnya tanpa kontrol dari pemerintah pusat. Beda dengan DAK. Daerah harus lebih hati-hati sebab dipantau pusat. Mengingat daerah banyak yang belum paham tentang sistem pengelolaan keuangan, langkah paling baik (adalah) dana Dekon dimasukkan ke DAK," tutur Agung.

(kit/esy/afz/jpnn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar